MACAM-MACAM
TEORI BELAJAR DAN PANDANGANNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU MANUSIA
Dalam psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu
proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan pengalaman
untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan’s pengetahuan satu,
keterampilan, nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).
Belajar sebagai suatu proses berfokus pada
apa yang terjadi ketika belajar berlangsung. Penjelasan tentang apa yang
terjadi merupakan teori-teori
belajar. Teori belajar
adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar, sehingga
membantu kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran.
Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini, dalam belajar yang penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan
guru kepada pembelajar, sedangkan
respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus
dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus)
dan apa yang diterima oleh pembelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.[1]
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/ dihilangkan (negative
reinforcement) maka respon juga semakin kuat.[2]
Memasuki
abad ke-19 beberapa ahli mengadakan penelitian eksperimental tentang teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang
sebagai objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian
didasarkan pada pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap
rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan
bahwa eksperimen itupun dapat berlaku bahkan dapat lebih berhasil pada manusia,
karena manusia lebih cerdas daripada binatang.[3]
Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang
itu untuk belajar antara lain sebagai berikut:
1. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang
lebih luas;
2. Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan
untuk maju;
3.
Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang
tua, guru, dan teman-teman;
4. Adanya
keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang
baru,
baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi;
5. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
6. Adanya ganjaran atau
hukuman sebagai akhir dari pada belajar. [4]
A.
Macam-macam teori belajar berdasarkan
kelompok ( aliran )
Dari
berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gledler Margaret Bell,
1986) memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat
dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran meliputi:
1. ALIRAN BEHAVIORISTIK (Tingkah Laku)
Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus
dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh
pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment;
(2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4)
Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The
Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya
adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis
serta peranannya dalam pembelajaran.
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau
dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi
antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini
antara lain; Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull, (1943); dan Skinner,
(1968).[5]
a). Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar
adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan,
atau gerakan) dan respons ( yang juga bisa berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan
tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang
nonkonkret (tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran
koneksionis” (connectionism).[6]
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini,
setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan
tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha
mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi
tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian “dipegangnya”. Karena
latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan
perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut
Thorndike melalui proses:
1). Trial and error (mencobva-coba dan
mengalami kegagalan), dan
2). Law of effect, yang berarti bahwa
segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok
dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baknya.[7]
Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori
koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut
Thorndike yakni :
(1) hukum efek ( suatu tindakan yang dilakukan akan
menimbulkan pengaruh )
(2)
hukum latihan ( semakin sering hubungan stimulus dan rerspon, maka semakin kuat
hubungan kedua. Begitupun sebaliknya semakin jarang digunakan, mak hubungan
antara stimulus dan respon seamkin lemah )
(3) hukum kesiapan ( seorang siswa akan
lebih berhasil belajarnya, apabila ia telah siap untuk melakukan kegiatan
pembelajaran ) (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini
menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon
b). Watson
Berbeda dengan
Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang
sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku
yang “bisa diamati”(observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan
berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya
sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental
yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi
faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah
terjadi atau belum.[8]
c). Clark Hull
Teori
ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering
digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.[9]
Dua hal
yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive
motivation (motivasi insentif) dan Drive reduction (pengurangan
stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.[10]
Penggunaan
praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai
berikut:
1). Teori belajar
didasarkan pada Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2). Intruksional
obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3). Ruangan kelas harus
dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses
belajar.
4). Pelajaran harus dimulai dari yang
sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih
kompleks/
sulit.
5). Kecemasan harus
ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
6). Latihan harus
didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan
perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
7). Urutan mata
pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu tidak
menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar pada
mata pelajaran berikutnya.[11]
d). Edwin Guthrie
Guthrie juga
mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan
pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh,
seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan
baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai
kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil
menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali
melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan
stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang
“penguatan” (reinforcement).
e). Skinner
Dari semua
pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa
program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau
program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat
(reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori
skinner.[12]
Prinsip belajar Skinner adalah :
1).
Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa
jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
2).
Proses belajar harus mengikuti irama dari yang
belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
3).
Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas
sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4).
Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah
dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio
reinforcer.
2. Teori
Belajar Kognitifisme
Pada
teori belajar kognitivisme, belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek
kognitif dan perseptual untuk memperoleh pemahaman. Tujuan dan tingkah laku
sangat dipengaruhi oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses
belajar. Menurut teori ini,
belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan
persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa
diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman
dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam
bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran
yang baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
Tokoh-tokoh dan teori yang mendukung kognitivisme adalah:
a). Piaget (Teori Perkembangan Kognitif)
Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang
tahapan perkembangan individu. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema
tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan
perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara
mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang
berarti, tidak seperti teori nativisme (yang
menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan
kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan
kognitif melalui tindakan yang termotivasi dengan
sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh
Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk
memahami dunianya melalui empat tahap utama yang berkorelasi dengan dan semakin
canggih seiring pertambahan usia:
1.
Tahap sensorimotor ( 0 – 2 tahun )
2.
Tahap praoperasional (2-7 tahun)
3.
Tahap operasional konkrit (7-11 tahun);
4.
Tahap operasional formal (11-15 tahun )
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan
lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema.
Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan
memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun
fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam
pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan
pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan,
informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau
mengganti skema yang sebelumnya ada. Perubahan skema tersebut meliputi:
1.
Asimilasi yaitu proses
menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat
subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau
informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada
sebelumnya.
2.
Akomodasi yaitu bentuk
penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat
adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam
proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali.
3.
Equilibrium yaitu berupa
keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan.
Melalui proses asimilasi dan akomodasi, sistem kognisi seseorang berubah dan
berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses
penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai
keadaan seimbang. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut
selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. Dengan
demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari
luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi
pengetahuannya.
b). Ausubel
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat
mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama
seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa,
terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau
mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada
tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak
waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan
penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Proses belajar
terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan
pengetahuan baru. Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:
- Memperhatikan
stimulus yang diberikan
- Memahami makna
stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Ausubel percaya bahwa “advance
organizer” dapat memberikan tiga manfaat;
1). Dapat menyediakan
suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari
oleh siswa.
2). Dapat berfungsi sebagai
jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga;
3). Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
c). Bruner
Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori
pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan,
sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan
penjumlahan. Proses belajar
lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaran dan bukan
ditentukan oleh umur siswa.
Proses belajar
terjadi melalui tahap-tahap:
- Enaktif
(aktivitas)
- Ekonik
(visual verbal)
- Simbolik
Bruner membedakan dua proses yang berkaitan dengan
kategori yaitu:
- Pembentukan
konsep (mempelajari konsep yang berbeda)
- Konsep
tingkat (mengenali sifat yang menentukan kategori)
Bruner
berpendapat bahawa pembentukan konsep merupakan proses yang terjadi pada anak
umur 0-14 tahun, sementara konsep konsep tingkat terbentuk pada usia 15 tahun
atau lebih. Konsep dibagi dalam tiga kategori yaitu:
- Konsep konjungtif: Konsep ini merujuk kepada konsep yang
mempunyai beberapa bagian yang tergabung dan tidak terpisahkan ataupun
terkurangkan. Apabila salah satu bagian ini diabaikan, maka, konsep
tersebut menjadi kurang lengkap.
- Konsep disjungtif: Konsep ini merujuk pada bagian-bagian yang
tergabung di dalam suatu konsep dan ini boleh digunakan dalam satu situasi
ataupun situasi yang lain.
- Konsep hubungan: Konsep ini merujuk pada hubungan khas
antara satu sama lain yang terwujud diantara bagian-bagian tersebut.
Kebanyakkan hubungan ini terdiri dari bagian-bagian yang mengandungi masa
dan ruang.
Selain itu
Bruner berpendapat bahwa fungsi konsep utamanya adalah menyusun informasi pada
sifat-sifat umum bagi suatu kumpulan objek atau gagasan, dengan tujuan agar
lebih ringkas, mudah difahami, mudah dipelajari dan mengingatnya. Bruner juga
berpendapat bahwa bahasa merupakan medium yang penting dalam perkembangan
kognitif manusia. Bruner mempercayai bahwa manusia memulai tindakan sebagai
usaha memahami alam sekitar, dan apabila tindakan tidak mencukupi, ia akan
beralih pada penggunaan gambar atau simbol yang mana bahasa sangat memainkan
peranan.
d). Robert Gagne (Teori Pemrosesan Informasi)
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa
pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa
dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang
terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne
tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu:
- Motivasi
- Pemahaman
- Pemerolehan
- Penyimpanan
- Ingatan kembali
- Generalisasi
- Perlakuan
- Umpan balik
e). Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui
pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang
memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt
beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori
gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian
kecil. Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and
Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan
apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh. Teori gestalt
banyak dipakai dalam proses desain dan cabang seni rupa lainnya,
karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual bisa terbentuk. Persepsi
jenis ini bisa terbentuk karena:
- Kedekatan
(proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik
waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu
bentuk tertentu.
- Kesamaan
(similarity); bahwa
sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu
obyek yang saling memiliki.
- Arah
bersama (common direction); bahwa
unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung
akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
- Kesederhanaan
(simplicity); bahwa orang
cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan
reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan
simetris dan keteraturan; dan
- Ketertutupan
(closure) bahwa orang
cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang
tidak lengkap.
3. ALIRAN HUMANISTIK
Menurut teori humanistik, tujuan belajar
adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini beruaha memahami prilaku balajar dari
sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatannya. Teori belajar
Humanisme Kajian konsep dasar belajar dalam teori humanisme didasarkan pada
pemikiran bahwa belajar merupakan kegiatan yang dilakukan seeorang dalam upaya
memenuhi kebutuhan seperti, kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan,
penerimaan, pengagungan dan cinta orang lain. Dalam proses pembelajaran,
kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu diperhatikan agar peserta didik tidak merasa
dikecewakan. Apabila peserta didik merasa upaya pemenuhan kebutuhannya terabaikan
maka kemungkinan besar di dalam dirinya tidak akan motivasi berprestasi dalam
belajarnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si
siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri
sebagai manusia yang unik dan mambantu dalam mawujudkan potensi-potensi yang
ada dalam diri mereka.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini
antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel.
Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful
learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan
bahwa belajar merupakanasmilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan
dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor
motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab
tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si pelajar, maka tidak akan terjadi
asimilasi pengetahuan baru ke dalam strujtur konitif yang telah dimilikinya.
Teori humanstik berpendapat bahwa belajar apapu dapat dimanfaatkan, asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman
diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
a). Bloom dan Krathowl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathowl
menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, Mereka lebih
menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai
tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar
yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan
Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah brhasil memberikan
ispirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun
peraktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu
para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan
dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini
pula para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya.
Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling
populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam
taksonomi Bloom adalah sebagai berikut :yang tercakup dalam tiga kawasan berikut;
1).
Kognitif
Kognitif
terdiri dari enam tingkatan yaitu :
i). Pengetahuan (mengingat, menghafal)
ii).
Pemahaman(menginterprestasikan)
iii). Aplikasi
(menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
iv). Analisis (menjabarkan suatu konsep)
v). Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
vi). Evaluasi
(membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya)
2). Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
i). Peniruan
(menirukan gerak).
ii). Penggunaan
(menggunakan konsep untuk melakukan gerak).
iii).
Ketepatan (melakukan gerak dengan benar).
iv). Perangkaian (beberapa gerakan sekaligus dengan
benar).
v). Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
3). Afektif
Afektif terdiri dari
lima tingkatan;
i). Pengenalan
(ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
ii).
Merespons (aktif berpartisipasi)
iii). Penghargaan
(menerima nilai-nilai, setia pada nilai nilai tertentu)
iv). Pengorganisasisan
(menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
v). Pengamalan
(menjadikan nilai-nilai sebagi bagian dari pola hidup).
b). Kolb
Sementara itu, seorang ahli yang bernama Kolb
membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu;
1).
Pengalaman konkret
2).
Pengamatan aktif dan reflektif
3). Konseptualisasi
4). Ekperimen aktif
Pada tahap paling dini dalam proses
belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum
mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat
laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai
berusaha memikirkan dan memahaminya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar
untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang suatu hal yang diamatinya.
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif),
siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi yang baru.
c). Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan
Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe
siswa, yaitu;
1). Aktivis
Orang-orang
yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan
diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk
memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah diajak
berdialog, memiliki pikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah
percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan suatu tindakan sering kali
kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya
untukmelibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada
hal-hal yang sfatnya penemuan-penemuanbaru, seperti pemikiran baru, pengalaman
barru dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem solving, barin storming. Namun
mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan
waktu lama.
2).
Reflector
Mereka yang
termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan
dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam dalam melakukan suatu
tindakan, orang-orang tipe rflektor sangant berhati-hati dan penuh
pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu
memperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang orang demikian
tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
3). Teoris, dan
Lain halnya
dengan orang-orang tipe teoritis, merreka memiliki kecenderugan yang sangat
keritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan
penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep
atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya
subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh
dengan pertimbangan, sangat skeptis da tidak menyukai hal-hal yang bersifat
spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat,
sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
4).
Pragmatis
Berbeda
dengan orang-orang tipe prangmatis, mereka memiliki sifat-sifat praktis, tda
suka berpanjang lebardengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan
sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang
nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan.
Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat dipraktekkan
maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka,
sesuatu lebih baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi
kehidupan manusia.
d). Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang
dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan
lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas
mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu;
1). Belajar teknis (technical learning)
2). Belajar praktis (practical learning)
3). Belajar emansipatoris (emancipatory learning).[20]
e) Carl Rogers
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu
dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung
didalamnya. Teori humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain :
teori yang berpusat pada pribadi (person centered), non-directive,
klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered),
teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan
person to person). Namun istilah person centered yang sering
digunakan untuk teori Rogers.
Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak
pesimisme suram dan putus asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme
yang memandang manusia seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh
harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi
yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian humanisme pada
umumnya, di mana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang
menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan,
harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
Asumsi dasar teori Rogers adalah:
-
Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik
organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
- Kecenderungan aktualisasi
Kecenderungan setiap makhluk
hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya.
Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya. Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke
kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai
kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar