Senin, 15 April 2013

ACAM-MACAM TEORI BELAJAR DAN PANDANGANNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU MANUSIA


MACAM-MACAM TEORI BELAJAR DAN PANDANGANNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU MANUSIA


Dalam psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan’s pengetahuan satu, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).
Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar, sehingga membantu kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pembelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.[1]
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/ dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.[2]

Memasuki abad ke-19 beberapa ahli mengadakan penelitian eksperimental tentang teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperimen itupun dapat berlaku bahkan dapat lebih berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas daripada binatang.[3]

Menurut Arden N. Frandsen mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang itu untuk belajar antara lain sebagai berikut:
       1.         Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas;
2.         Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju;
3.         Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman;
4.         Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang   
           baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi;
       5.         Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman;
       6.         Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada belajar. [4]

A. Macam-macam teori belajar berdasarkan kelompok ( aliran )
Dari berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti (Atkinson, dkk. 1997; Gledler Margaret Bell, 1986) memaparkan tentang  teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan  dalam empat kelompok atau aliran meliputi:
1. ALIRAN BEHAVIORISTIK (Tingkah Laku)
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah  faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku (behavioristik), tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain; Thorndike, (1911); Wathson, (1963); Hull, (1943); dan Skinner, (1968).[5]
a). Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons ( yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bias diamati). Teori Thorndike disebut sebagai “aliran koneksionis” (connectionism).[6]
Menurut teori trial and error (mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organisme jika dihadapkan dengan situasi baru akan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha mencoba itu kemudian secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi tuntutan situasi, maka perbuatan yang cocok itu kemudian “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang cocok itu makin lama makin efisien. Jadi, proses belajar menurut Thorndike melalui proses:
1). Trial and error (mencobva-coba dan mengalami kegagalan), dan
2). Law of effect, yang berarti bahwa segala tingkah laku yang berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baknya.[7]
           Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni :
(1) hukum efek ( suatu tindakan yang dilakukan akan menimbulkan pengaruh )
 (2) hukum latihan ( semakin sering hubungan stimulus dan rerspon, maka semakin kuat hubungan kedua. Begitupun sebaliknya semakin jarang digunakan, mak hubungan antara stimulus dan respon seamkin lemah )
(3) hukum kesiapan ( seorang siswa akan lebih berhasil belajarnya, apabila ia telah siap untuk melakukan kegiatan pembelajaran )  (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon
b). Watson
      Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”(observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.[8]

c). Clark Hull
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.[9]
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya Incentive motivation (motivasi insentif) dan Drive reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (revaro) berubah.[10]
Penggunaan praktis teori belajar dari Hull ini untuk kegiatan dalam kelas, adalah sebagai berikut:
1).    Teori belajar didasarkan pada Drive-reduction atau drive stimulus reduction.
2).    Intruksional obyektif harus dirumuskan secara spesifik dan jelas.
3).    Ruangan kelas harus dimulai dari yang sedemikian rupa sehingga memudahkan terjadinya proses belajar.
4).     Pelajaran harus dimulai dari yang sederhana/ mudah menuju kepada yang lebih
  kompleks/ sulit.
5).     Kecemasan harus ditimbulkan untuk mendorong kemauan belajar.
6).    Latihan harus didistribusikan dengan hati-hati supaya tidak terjadi inhibisi. Dengan perkataan lain, kelelahan tidak boleh menggangu belajar.
7).    Urutan mata pelajaran diatur sedemikian rupa sehingga mata pelajaran yang terdahulu tidak menghambat tetapi justru harus menjadi perangsang yang mendorong belajar pada mata pelajaran berikutnya.[11]
d). Edwin Guthrie
Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peran penting dalam belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungan. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terisolasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).



e). Skinner
            Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkn teori Skinner lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan factor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori skinner.[12]
Prinsip belajar Skinner adalah :
      1).    Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
      2).    Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
      3).    Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
      4).    Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.

2.  Teori Belajar Kognitifisme
            Pada teori belajar kognitivisme, belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan perseptual untuk memperoleh pemahaman. Tujuan dan tingkah laku sangat dipengaruhi oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. Tokoh-tokoh dan teori yang mendukung kognitivisme adalah:
     a). Piaget  (Teori Perkembangan Kognitif)
Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat tahap utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
1.        Tahap sensorimotor ( 0 – 2 tahun )
2.        Tahap praoperasional  (2-7 tahun)
3.        Tahap operasional konkrit  (7-11 tahun);
4.        Tahap operasional formal (11-15 tahun )
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Perubahan skema tersebut meliputi:
1.             Asimilasi yaitu proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya.
2.             Akomodasi yaitu bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali.
3.             Equilibrium yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Melalui proses asimilasi dan akomodasi, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan seimbang. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
b). Ausubel
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:
  1. Memperhatikan stimulus yang diberikan
  2. Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga manfaat;
1).    Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan   dipelajari oleh siswa.
2).   Dapat berfungsi sebagai jembatan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa, sedemikian rupa sehingga;
3).    Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

c). Bruner
Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara mengajarkan penjumlahan. Proses belajar lebih ditentukan oleh karena cara kita mengatur materi pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur siswa.

Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
  1. Enaktif (aktivitas)
  2. Ekonik (visual verbal)
  3. Simbolik
Bruner membedakan dua proses yang berkaitan dengan kategori yaitu:
  1. Pembentukan konsep (mempelajari konsep yang berbeda)
  2. Konsep tingkat (mengenali sifat yang menentukan kategori) 
Bruner berpendapat bahawa pembentukan konsep merupakan proses yang terjadi pada anak umur 0-14 tahun, sementara konsep konsep tingkat terbentuk pada usia 15 tahun atau lebih. Konsep dibagi dalam tiga kategori yaitu:
  1. Konsep konjungtif: Konsep ini merujuk kepada konsep yang mempunyai beberapa bagian yang tergabung dan tidak terpisahkan ataupun terkurangkan. Apabila salah satu bagian ini diabaikan, maka, konsep tersebut menjadi kurang lengkap.
  2. Konsep disjungtif: Konsep ini merujuk pada bagian-bagian yang tergabung di dalam suatu konsep dan ini boleh digunakan dalam satu situasi ataupun situasi yang lain. 
  3. Konsep hubungan: Konsep ini merujuk pada hubungan khas antara satu sama lain yang terwujud diantara bagian-bagian tersebut. Kebanyakkan hubungan ini terdiri dari bagian-bagian yang mengandungi masa dan ruang.
Selain itu Bruner berpendapat bahwa fungsi konsep utamanya adalah menyusun informasi pada sifat-sifat umum bagi suatu kumpulan objek atau gagasan, dengan tujuan agar lebih ringkas, mudah difahami, mudah dipelajari dan mengingatnya. Bruner juga berpendapat bahwa bahasa merupakan medium yang penting dalam perkembangan kognitif manusia. Bruner mempercayai bahwa manusia memulai tindakan sebagai usaha memahami alam sekitar, dan apabila tindakan tidak mencukupi, ia akan beralih pada penggunaan gambar atau simbol yang mana bahasa sangat memainkan peranan. 


d). Robert Gagne (Teori Pemrosesan Informasi)
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu:
  1. Motivasi
  2. Pemahaman
  3. Pemerolehan
  4. Penyimpanan
  5. Ingatan kembali
  6. Generalisasi
  7. Perlakuan
  8. Umpan balik

e). Teori Gestalt
Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh. Teori gestalt banyak dipakai dalam proses desain dan cabang seni rupa lainnya, karena banyak menjelaskan bagaimana persepsi visual bisa terbentuk. Persepsi jenis ini bisa terbentuk karena:
  1. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
  2. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
  3. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
  4. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
  5. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.

3.  ALIRAN HUMANISTIK
Menurut teori humanistik,  tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini beruaha memahami prilaku balajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatannya. Teori belajar Humanisme Kajian konsep dasar belajar dalam teori humanisme didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan kegiatan yang dilakukan seeorang dalam upaya memenuhi kebutuhan seperti, kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan dan cinta orang lain. Dalam proses pembelajaran, kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu diperhatikan agar peserta didik tidak merasa dikecewakan. Apabila peserta didik merasa upaya pemenuhan kebutuhannya terabaikan maka kemungkinan besar di dalam dirinya tidak akan motivasi berprestasi dalam belajarnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu  masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan mambantu dalam mawujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakanasmilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si pelajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam strujtur konitif yang telah dimilikinya. Teori humanstik berpendapat bahwa belajar apapu dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
a).  Bloom dan Krathowl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathowl menunjukkan apa yang  mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah brhasil memberikan ispirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun peraktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pula para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom adalah sebagai berikut :yang tercakup dalam tiga kawasan berikut;

1). Kognitif
          Kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu :
                   i).      Pengetahuan (mengingat, menghafal)
                  ii).      Pemahaman(menginterprestasikan)
                   iii).    Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
                   iv).    Analisis (menjabarkan suatu konsep)
 v).     Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
                  vi).     Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya)

2). Psikomotor
           Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
                       i).     Peniruan (menirukan gerak).
                      ii).    Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak).
                      iii).   Ketepatan (melakukan gerak dengan benar).
                      iv).    Perangkaian (beberapa gerakan sekaligus dengan benar).
                        v).    Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).

3).  Afektif
            Afektif terdiri dari lima tingkatan;
                 i).       Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
                ii).       Merespons (aktif berpartisipasi)
                iii).      Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai nilai tertentu)
               iv).   Pengorganisasisan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
                 v).       Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagi bagian dari pola hidup).

b). Kolb
Sementara itu, seorang ahli yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu;
1).       Pengalaman konkret
2).       Pengamatan aktif dan reflektif
3).       Konseptualisasi
4).       Ekperimen aktif
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang suatu hal yang diamatinya.
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi yang baru.

c). Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa, yaitu;
1). Aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah diajak berdialog, memiliki pikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan suatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untukmelibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sfatnya penemuan-penemuanbaru, seperti pemikiran baru, pengalaman barru dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem solving, barin storming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
2). Reflector
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe rflektor sangant berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu memperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
            3). Teoris, dan
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoritis, merreka memiliki kecenderugan yang sangat keritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis da tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
4). Pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe prangmatis, mereka memiliki sifat-sifat praktis, tda suka berpanjang lebardengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu lebih baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.



d). Habermas
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu;
1). Belajar teknis (technical learning)
2). Belajar praktis (practical learning)
3). Belajar emansipatoris (emancipatory learning).[20]
e)   Carl Rogers
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person centered), non-directive, klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered),  teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to person). Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk teori Rogers.
Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang memandang manusia seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian humanisme pada umumnya, di mana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
Asumsi dasar teori Rogers adalah:
-     Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
-    Kecenderungan aktualisasi
Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya. Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar